Diterbitkan di KOMPAS, Kamis 8 Agustus 2019
Dr. Eng. Rony Seto Wibowo S.T, M.T
Hari Minggu, 4 Agustus 2019, menjadi hari yang gelap bagi PLN dan masyarakat di bagian barat Pulau Jawa. Gangguan pada saluran udara tegangan ekstra tinggi 500 kilovolt Ungaran-Pemalang, Jawa Tengah, menyebabkan pemadaman listrik di Jakarta, Jawa Barat, dan Sebagian Jawa Tengah.
Akibat pemadaman ini, Presiden Joko Widodo harus turun tangan dengan mendatangi kantor PLN untuk mengetahui penyebab terjadinya pemadaman dan mendorong pemecahan masalah, baik dalam jangka pendek maupun jangka Panjang. Pemadaman skala luas ini belum jauh dari kejadian sebelumnya di mana pada 5 September 2018, gangguan pada SUTET Paiton-Grati, Jawa Timur, menyebabkan pemadaman listrik sekitar 2.400 megawatt yang tersebar Sebagian di Pulau Jawa dan hamper keseluruhan Bali.
Penyebab dan Kondisi sistem
Melihat dari kronologis yang dipaparkan oleh PLN, kedua kejadian ini mempunyai kemiripan, yaitu diawali dengan gangguan (short circuit) yang menyebabkan terputusnya saluran transmisi yang mengalirkan listrik dari bagian timur Pulau Jawa ke bagian barat Pulau Jawa. Terputusnya saluran ini menyebabkan terganggunya keseimbangan beban (permintaan) dan pembangkitan (pasokan). Di bagian barat Pulau jawa, akibat beban melebihi pembangkitan, frekuensi sitem turun melampaui batas yang diizinkan. Sebaliknya, bagian timur Jawa mengalami kelebihan pasokan yang menyebabkan frekuensi naik.
Akibat perubahan frekuensi yang tejam, sistem pertahanan (defense scheme) bekerja dengan melepaskan beban (load shedding) dan atau melepaskan pembangkit listrik (generator shedding). Hal ini dilakukan untuk mencapai keseimbangan beban dan pembangkitan yang baru guna menghindari pemadaman yang lebih luas dan kerusakan pada generator.
Pemadaman listrik menyebabkan kerugian yang sangat besar. Pusat perbelanjaan dan perkantoran harus menyalakan genset dengan biaya per kWh yang jauh lebih mahal. Pabrik-pabrik akan mengalami kerugian akibat material yang terbuang karena proses produksi yang terhenti atau bahkan denda akibat keterlambatan produksi
Reputasi negara turun (penurunan angka Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indinesia secara berarti) pada saat pemerintah sedang giat memperbaiki iklim investasi. Lebih lagi, adanya korban materi dan korban jiwa akibat kebakaran yang merupakan dampak tidak langsung dari pemadaman listrik
Saat ini, beban puncak sistem kelistrikan Jawa dan Bali sekitar 27.000 MW dengan pembangkit terpasang sekitar 35.000 MW. Sepintas terlihat kapasitas pembangkit jauh melebihi beban. Namun, jika dihitung lebih teliti, kapasitas terpasang pembangkit akan menyusut drastis ketika kita memperhatikan tingkat kesiapan unit pembangkit. Tidak semua pembangkit siap beroperasi karena pemeliharaan atau karena ketidaktersediaan energi primer, seperti kelangkaan air waduk pada musim kemarau untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Selain itu, sebagian besar pembangkit di Jawa adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan biaya pembangkitan listrik murah, tetapi mempunyai respons lambat terhadap terjadinya ketidakseimbangan beban dan pembangkitan.
Secara umum, beban listrik di bagian barat Jawa lebih besar dari beban listrik di bagian timur Jawa karena industry lebih banyak berada di bagian barat Jawa. Di bagian barat Jawa, beban listrik lebih dari pembangkitan listrik. Sebaliknya, pembangkit listrik melebihi beban di bagian timur Jawa. Akibatnya, daya listrik perlu dikirim dari bagian timur ke bagian barat Jawa. Dampaknya, bagian barat Jawa rentan mengalami penurunan frekuensi dan tegangan (yang berujung pada pemadaman) jika pasokan dari timur Jawa terhenti, baik karena saluran putus maupun pembangkit mati paksa. Lebih dari itu, rugi-rugi saluran transmisi menjadi relatif lebih tinggi dan berpotensi menaikkan biaya pokok pembangkitan listrik.
Sistem kelistrikan Jawa dan Bali didukung oleh sistem transmisi 500 kV yang membentang dari timur hingga barat Pulau Jawa dan terdiri dari saluran transmisi utara dan selatan. Untuk keandalan saluran, setiap saluran terdiri atas dua sirkuit. Saat ini, daya listrik yang mengalir di beberapa saluran transmiri telah melampaui batas
keandalan saluran N-1. Akibatnya, jika salah satu sirkuit terputus, ada kemungkinan sirkuit kedua mengalami overload dan berpotensi terputus juga.
Perencanaan hingga pemeliharaan
Meskipun dua kali pemadaman listrik skala besar terjadi dalam satu tahun terakhir, kejadian ini tak terlepas dari perencanaan sistem kelistrikan pada masa lalu. Ada banyak pertimbangan dalam perencaan pengembangan pembangkit. Beberapa di antaranya keandalan sistem (ketersediaan pembangkit), lokasi pembangkit, dan tipe pembangkit. Pertama, pembangkit harus tersedia dalam jumlah cukup. Artinya, jumlah kapasitas pembangkit harus lebih dari beban puncak. Di sistem Jawa dan Bali, minimal cadangan kapasitas adalah 30 persen dari beban puncak sistem. Namun, pembangunan pembangkit yang sering kali molor menyebabkan cadangan minimal tidak tercapai. Lebih dari itu, kualitas pembangkit yang rendah kian menurunkan kesiapan dan kapasitan pembangkit. Kondisi ini diperparah dengan tidak beroperasinya PLTA pada musim kemarau. Akibatnya, keandalan sistem semakin rendah.
Kedua, pembangkit harus ditempatkan di lokasi yang tepat. Penempatan yang tepat dapat mengurangi ketidakseimbangan pembangkitan dan beban di suatu wilayah, baik pada saat sistem berjalan normal maupun pada saat sistem berjalan normal maupun pada saat sistem mengalami gangguan (kontingensi). Penempatan yang tepat juga dapat mengurangu aliran daya listrik di saluran transmisi. Dengan demikian, kemacetan aliran daya listri pada saluran akan berkuran (congestion relief), profil tegangan membaik, dan rugi-rugi saluran menurun. Salah satu Teknik yang digunakan untuk penempatan pembangkit adalah menggunakan indicator locational marginal price (LMP). Indikator ini dapat menunjukkan pengaruh lokasi pembangkit (atau beban) terhadap biaya pembangkitan listrik cenderung lebih murah. Sebaiknya pembangkit ditempatkan di dekat gardu induk (GI) yang punya nilai LMP tinggi dan beban sebaiknya dihubungkan ke GI dengan LMP rendah.
Ketiga, tipe pembangkit berpengaruh terhadap respons sistem saat gangguan terjadi. Sudah pasti, pembangkit dengan respons cepat lebih diinginkan untuk dibangun
Namun, semakin cepat respons pembangkit, biaya pembangkitan akan semakin mahal. Sebagai contoh, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) punya respons cepat, tetapi biaya pembangkitan mahal. Sebaliknya, PLTU batubara mempunyau respons lambat, tetapi biaya pembangkitan murah. Karena harga listrik murah masih menjadi acuan, PLTU masih mendominasi di sistem Jawa dan Bali.
Dengan semakin besar beban dan kompleks sistem kelistrikan, metode pengoperasian biasa yang hanya mempertimbangkan biaya pembangkitan listrik yang murah mulai harus ditinggalkan. Pada metode pengoperasian konvensional, antisipasi terhadapa kemungkinan terjadi gangguan (kontingensi) kurang diperhatikan. Akibatnya, sistem menjadi kurang siap dalam menghadapi gangguan. Ada tiga kategori Tindakan yang dapat diambil dalam menghadapi keadaan kontingensi, yaitu Tindakan pencegahan (preventive control), perbaikan (corrective control), serta gabungan tindakan pencegahan dan perbaikan.
Tindakan pencegahan adalah tindakan yang dilakukan sebelum gangguan terjadi (pra-gangguan). Tindakan pencegahan umumnya dilakukan dengan mengatur daya luaran pembangkit yang beroperasi dengan mempertimbangkan minimum biaya pembangkitan dan antisipasi kemungkinan terjadi gangguan. Ketika terjadi gangguan, sistem tetap aman tanpa perlu melakukan tindakan pasca-gangguan. Namun, pengaturan daya luaran oembangkit ini dapat menyebabkan pergeseran daya terbangkit dari pembangkit murah ke mahal. Oleh karena itu, pada tindakan pencegahan, biaya pembangkitan cenderung lebih mahal.
Sementara, tindakan perbaikan adalah dilakukan setelah gangguan terjadi. Umumnya, Tindakan perbaikan adalah pelepasan beban dan atau pelepasan generator yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan bebabn dan pembangkitan dalam waktu cepat. Tindakan perbaikan lain yang lebih kompleks dapat dilakukan dengan penggunaan peralatan flexible AC transmission systems (FACTS) yang bertujuan merekayasa aliran daya pada saluran transmisi. Tindakan perbaikan dengan pelepasan beban
menyebabkan kerugian besar akibat pemadaman listrik. Namun, tindakan ini dapat mencegah pemadaman listrik pada skala lebih luas. Adapun tindakan gabungan pencegahan dan perbaikan dapat menurunkan kerugian dengan cara mengurangi beban atau pembangkit yang dilepas.
Jika benar pemadaman kemarin akibat pohon di bawah tower transmisi yang terlalu tinggi, hal ini menunjukkan pemeliharaan menjadi faktor penting. Pemadaman listrik ini dapat dihindari dengan memotong pohon yang tinggi. Hal ini tidak mudah dan membutuhkan dana mengingat saluran transmisi membentang hingga ribuan kilometer dan berlokasi di daerah yang mungkin sulit terjangkau. Namun, jika dibandingkan kerugian akibat pemadaman listrik, biaya pemeliharaan ini relatif lebih kecil.
Langkah ke depan
Untuk jangka pendek ke depan, PLN perlu memanfaatkan teknik pengoperasian sistem kelistrikan yang lebih aman dengan mempertimbangkan antisipasi terjadinya gangguan (kontingensi) meski biaya operasi akan sedikit lebih mahal. Selain itu, pemeliharaan saluran transmisi juga perlu dilakukan dengan lebih efektif untuk mencegah terjadinua gangguan yang tidak diinginkan.
Dalam jangka Panjang, PLN harus terus menjaga cadangan kapasitas minimal 30 persen di atas beban puncak dengan cara membangun pembangkit di lokasi-lokasi yang tepat dan dengan tipe pmbangkit yang sesuai untuk kebutuhan operasi, baik saat keadaan normal maupun kontingensi. Mengingat butuh biaya, segala usaha itu akan cenderung menaikkan biaya pokok pembangkitan. Untuk itu, usaha optimal PLN untuk terus mengefisienkan sistem kelistrikan dan kerelaan masyarakat akan kenaikan tarif sangat dibutuhkan. Jer Basuki Mawa Beya.