Diterbitkan di Jawa Pos, 12 Januari 2020
Dr. Eng. Rony Seto Wibowo S.T, M.T
SALAH satu tugas Dirut PLN yang baru ke depan adalah menakhodai PLN menuju era disrupsi di sektor ketenagalistrikan yang melibatkan energi terbarukan. Setidaknya ada dua isu penting yang mendorong penggunaan energi terbarukan, yaitu cadangan energi fosil yang menipis dan pemanasan global. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019 telah mengamanatkan target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025.
Banyak orang mengatakan bahwa cadangan energi fosil Indonesia berlimpah. Namun, data BP Statistical 2019 menyatakan bahwa cadangan terbukti minyak bumi Indonesia adalah 0,2 persen dari total cadangan dunia. Sedangkan cadangan gas alam 1,4 persen dan batu bara 3,5 persen. Angka itu tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan persentase penduduk Indonesia, yaitu sekitar 3,5 persen penduduk dunia.
Perkembangan industri dan transportasi meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer. Polusi parah terjadi di kota-kota besar dunia. Efek rumah kaca mengakibatkan pemanasan global yang ditunjukkan dengan mencairnya es di Antartika dan Gunung Himalaya. Tidak hanya itu, kemarau panjang, gelombang panas, dan kebakaran hutan terjadi di berbagai belahan dunia. Tidak heran bila konferensi iklim PBB 2019 di Madrid, Spanyol, mencemaskan kondisi itu.
Energi Terbarukan Menipisnya cadangan energi fosil dan polusi adalah tantangan nyata yang akan dihadapi Indonesia. Energi terbarukan akan menjadi jawaban permasalahan energi masa depan. Salah satu potensi energi terbarukan yang menjanjikan adalah energi surya dengan potensi terbentang hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Laporan International Renewable Energy Agency 2018 menyebutkan bahwa harga listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) telah menurun secara drastis dari USD 0,36/kWh (Rp 5.040/kWh) pada 2010 menjadi USD 0,1/kWh (Rp 1.400 Rp/kWh) pada 2017. Dengan demikian, harga tersebut mulai dapat bersaing dengan harga listrik dari pembangkit listrik berbasis panas bumi dan gas bumi. Seiring dengan perkembangan teknologi, tidak tertutup kemungkinan bahwa harga listrik PLTS terus menurun. Bila itu terjadi, penggunaan PLTS atap akan berkembang pesat. Masyarakat tidak hanya menggantungkan diri pada PLN dalam pemenuhan kebutuhan listrik. Semua bisa menjadi produsen listrik.
Namun, pengoperasian PLTS bukan tanpa masalah. Ketidakpastian keberadaan sinar cahaya matahari membutuhkan pendampingan dari pembangkit konvensional (non terbarukan) untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan listrik. Selain itu, beban puncak listrik di Indonesia terjadi saat malam. Padahal, ketersediaan energi matahari ada saat siang. Akibatnya, ketika siang, utilitas pembangkit konvensional akan menurun.
Kendaraan Listrik Kendaraan listrik juga bisa menjadi jawaban terhadap masalah cadangan energi fosil dan polusi. Kendaraan listrik digerakkan energi listrik yang dihasilkan pembangkit apa pun, termasuk energi surya.
Dengan demikian, penggunaan bahan bakar dapat digeser dari bahan bakar minyak (BBM) ke tenaga matahari. Penggunaan BBM bisa dikurangi. Lebih dari itu, dengan penggunaan kendaraan listrik, polusi akibat kendaraan bermotor berbahan bakar BBM juga dapat dikurangi.
Tetapi, tantangan akan muncul ketika jumlah kendaraan listrik meningkat. Kebutuhan listrik akan meningkat tajam. Sebagai contoh, baterai sepeda motor listrik mempunyai kapasitas 5.000 Wh. Untuk mengisi penuh baterai dalam 5 jam, dengan tegangan 220 V, arus yang dibutuhkan sekitar 4,5 A. Bila pemilik sepeda motor mengisi baterai di rumah saat beban puncak malam sepulang kerja, beban puncak listrik berpotensi naik tajam. Setiap rumah dengan sepeda motor akan berlangganan listrik minimal 2.200 VA.
Hal itu berpotensi mengakibatkan kelebihan beban (over load) di saluran dan trafo distribusi listrik. Tidak hanya itu, pengisian baterai saat beban puncak malam memaksa pembangunan pembangkit konvensional dengan jumlah dan kapasitas yang lebih besar. Keadaan itu mengakibatkan utilitas pembangkit (terutama pembangkit PLN) menjadi semakin rendah dan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik semakin mahal. Terlebih, pembangkit yang digunakan untuk menopang beban puncak umumnya termasuk jenis pembangkit mahal.
Sedikitnya ada empat hal penting dalam mengantisipasi sistem kelistrikan pada masa yang akan datangagar berjalan dengan efisien, yaitu teknologi, regulasi, model bisnis, dan pengelolaan kelistrikan. Secara teknologi, PLN perlu untuk mengganti alat ukur konvensional menjadi alat ukur cerdas (smart meter). Paling tidak, alat tersebut bisa merekam konsumsi dan produksi listrik pelanggan.
Dari sisi regulasi, pemerintah perlu menerapkan harga listrik dinamis yang berubah terhadap waktu sesuai dengan biaya pembangkitan saat itu. Pelanggan harus mengetahui kapan harga listrik murah dan mahal.
Dengan demikian, pelanggan dapat mengatur diri untuk menggunakan listrik pada saat harga listrik murah dan tidak menggunakan pada saat harga listrik mahal. Umumnya harga listrik mahal ketika permintaan listrik tinggi, banyak pembangkit mahal yang akan dioperasikan. Pengisian baterai pada saat beban rendah dapat mencegah kenaikan beban puncak malam serta mengurangi penurunan beban saat siang sekaligus bisa menyimpan energi yang dihasilkan PLTS.
Untuk pengelolaan itu, model bisnis harus memungkinkan jual beli listrik di tingkat distribusi. Selain itu, pengaturan keseimbangan pasokan dan permintaan listrik tidak hanya dilakukan di tingkat transmisi seperti sekarang, tetapi juga di tingkat distribusi. Selain untuk menurunkan BPP listrik, tujuan pengaturan tersebut adalah mencegah terjadinya kelebihan beban di jaringan dan trafo distribusi.
Pemerintah perlu mengantisipasi era baru sistem ketenagalistrikan. Pelanggan tidak hanya mengonsumsi listrik, tetapi juga memproduksi listrik. Peraturan perundangan perlu disesuaikan dan disosialisasikan. Sarana dan prasarana pendukung secara bertahap perlu disiapkan seperti alat ukur cerdas, alat pengisian baterai, alat konversi, jaringan distribusi listrik, dan jaringan komunikasi. Dan, yang lebih penting adalah penguatan industri dalam negeri agar tidak semua peralatan diperoleh dari impor.
RONY SETO WIBOWO *)
(*) Pengoperasian PLTS bukan tanpa masalah. Ketidakpastian keberadaan sinar matahari membutuhkan pendampingan dari pembangkit konvensional (non terbarukan) untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan listrik.”